PERLUASAN INTEGRITAS ARTISTIK
“Oalah, Karsa Koherensi Rasa”
Uswatul
Hakim (2022) Diskusi Langgang Kuau
Sudut pandang
berbeda menjadi barang lazim dan tak boleh dielakkan dalam memandang fakta yang
belum tentu benar menjadi realita bagi setiap manusia yang memiliki elan dalam
proses kreatifitasnya. Proses empiris individu dalam setiap pola ide maupun isu terbentur,
terbentur dan terbentuk menjadi kemampuan penataan ekspresi yang bertingkat
serta beragam olah karsa dari rasa sehingga memiliki entitas yang bisa dinilai (tentunya
relatif) , dinikmati panca indra dan bermakna bagi sesama.
Raja Ali Haji sudah lama
menekankan tiga hal penting dalam kehidupan manusia, yakni ilmu,akal dan adab
yang berdampingan dengan pebincangan saat ini hingga kata integritas menjadi
marak dan verbal penyebutannya walau dalam proses perwujudan nilai estetis
sudah menjadi tonggak dasar dalam proses berkreatifitas, mempertahankan
kreatitas dan bertanggungjawab dengan hasil kreatifitas sudah barang tentu
digaris bawahi “berkesenian”.
Seluruh kata
disini disusun sedemikian rupa, saling menyambung hingga menjadi kalimat
sederhana dapat dibaca serta dipahami, mungkin terbesit “ah, ini apa? hanya
kalimat receh menggelitik untuk dikomentari atau untuk didiamkan”. Padahal
sebuah usaha sudah dicoba ditata bentuk demi bentuk, garis demi garis yang kita
semua sepakat ini merupakan huruf (vocal maupun konsonan) ketika digabung
menjadi hal yang dapat dipahami maksud dan tujuannya. Proses ini didedikasikan
dalam tanggung jawab moral akan cerminan saat ini atas segala pengalaman emipiris
baik yang sudah tempa dilapangan maupun dalam pengalaman dalam menempuh pendidikan,
egaliter dengan wujud estetis lain ekspresi yang saling berkelindan tertuang,
dari mana kemampuan artisitik ini berasal.
Satu alenia fulan
tulis diatas beriring dengan low fidelity bunyi menemani ketikan demi
ketikan yang telah dibaca, refleksi integritas sederhana dari jalan ninja yang
sudah ditempuh dalam proses “ber_kesenian”. Mungkin wujud hasil bunyi kadang
tak dilihat kurang pemerhati, maka usaha penularan ide layak rasanya
disampaikan kehalayak ramai untuk sintas dalam dunia yang telah, sedang dan
akan ditempuh.
Pelebaran jalan
dalam pembangunan seni bukan sebuah pilihan, akan lebih tepat menjadi keharusan
untuk bukti konsistensi bahwa sebuah ide yang tertuang kedalam ranah artistik
dapat dipertanggung jawabkan untuk terus ditularkan ke generasi berikutnya. Penataan
bunyi latar belakang fulan tak bisa hanya dijawab dengan harmoni atau ketukan, melainkan
tetap dengan susunan kata yang menjadi bukti akhir bahwa sudah melewati tahap
nilai yang menjadi standar dalam proses kehidupan senian. Begitupun mungkin hal
serupa, segerak, seframe, senaskah, sepanggung yang akan dan telah dilewati
terkhusus pada proses berkesenian pada tataran Pendidikan formal. Keharusan
memang sebuah pertanggung jawaban wujud seni ini tetap diarahkan kedalam
susunan huruf agar bisa bernilai dan terdokumentasikan dengan baik.
Sebelum berbicara
bagaimana integritas artistic secara khusus, mari kita coba lebih awal membedah
dengan sederhana proses tersebut melalui sudut pandang penularan seni (A.J. Sohardjo:2015).
Pertama “Aprentisip” dengan komponen dasarnya adalah
“seniman/master,aprentis(murid), prosedur, yang dimana kemampuan artistic
disini dipengaruhi besar oleh sang guru, tapi tak akan seirama integritas
antara sang guru dengan murid walau sudah dengan prosedur yang tepat karna
fakta dari sang guru kadang berbenturan hebat dengan realita dilapangan oleh
sang murid. Potensi artistik disini dapat terjadi karna kekaguman pada sang
guru berkat kepiawaiannya atau pengalam dalam proses berkesenian.
Pada sistim yang
kedua “Pewarisan” atau sering disebut dengan sistim aprentisip khusus
dikarna komponen penularan yang dari seniman kepada keturunan, sistim darah
atau orang yang telah dipercaya. Berat memang bagi sipenerima warisan untuk
melanjutkan besaran nilai yang sudah dibentuk pendahulunya, karana harapan
besar dari sang guru/orang tua kepada penerus berbanding terbalik dengan
keingnan, tujuan dan jalan ninja sianak di masanya. Bisa dikatakan bukanlah
keterampilan yang diteruskan melaiankan, beban moril nama yang berimbas kepada
kulitas artistic serta nilai seni berikutnya.
Dilanjutkan
dengan “Sisitem Akademik” menjadi hal hebat dan cukup hangat
diperbincangkan. Pada sistem ini yang menjadi dasar pijakan dalam prosesnya
adalah pedoman yang berisi ketentuan yang mengikat telah diseakati oleh Lembaga
pengelola atau disebut dengan “kurikulum”. Kemampuan artisitik didapati
pada sistem ini bisa hasil dampak pembelajaran atau kadang dampak ikut-ikutan.
Ketidakpuasan sering terjadi akibat luaran dari porses ini tak sepadan dengan
nilai yang disepakati ditengan masyarakat yang seirama, lain hal kita juga sependapat
bahwa keseniman tidak mungkin didapat lansung dari Lembaga Pendidikan,
melainkan ditemukan lansung oleh calon seniman ditengah masyarakat karna tanpa
disadari pada sistem ini kemampuan psikologis bidang senilah yang terbentuk
kuat dan utuh seperti ekplorasi diri, percaya diri, tanggung jawab, jujur, dll.
Pilihan lain capian luaran pada sistem ini adalah kemampuan prilaku kognisi
(pemahaman), afeksi (kesadaran artistic) dan psokomoto (keterampilan artistic).
“Ilmu pengetahuan
ada dua macam pengaruhnya, pertama yang mempunyai daya mempertajam dan
mempercerdas pikiran, kedua pengethauan yang mempunyai daya memperdalam dan
memperhalus budi”. Gagasan Ki Hadjar Dewantara ini dipertegas oleh (Yudi
Latief:2020) bahwasanya erat sekalai hubungan antara ,logika, ethika dan
aesthetika pada proses penularan seni sistim ini, dan alasan lain kenapa dalam
beberapa jenjang pendidikan formal, materi pemahaman dan pengembangan nilai
artistik yang diwakili oleh muatan pelajaran tertentu dihadirkan.
Keempat “Sistem Sanggar”
mengacu kepada tempat dimana diskursus liar keartisikan sering muncul.
Pengalaman masing-masing individu saling berbaur meramu sampai gelap malam,
semakin banyak tegukan kopi maka semakin banyak pula pemahaman baru didapati
yang berguna mendewasakan nilai estetis dimasing-masing bidangnya yang sadar
atau tidak merubah pola kedepannya.
Terakhir ada
“Sistim Otodidak” yang cendrung tercapai atas lahiriahnya. Kamandirian
tanpa ada peran pengajar dalam memperolah ide, kemampuan nilai estetis hingga pada titik tertentu medanpatkan
pengakuan yang disepadani dengan sistem lainnya. Si punya bakat memang memiliki
peluang besar dalam keahlian artistik, tapi bisa tertinggal dengan si punya
kemuan dalam ranah integritas karna pengalaman sosialnya yang lebih luas.
Pencipataan karya
seni dengan muatan nilai artistik dipengaruhi kuat oleh pengalaman artisktik si
pencipta. penularan seni merupakan substansi dari pengalaman tersebut. Cara
berpikir dan berperasaan titik awal dalam proses artistik yang tidak bisa
dilepaskan untuk mencerminkan konsistensi antara kata, tindakan dengan prilaku
dalam berkesenian.
Selain menjadi
sebuah gambaran proses diskursus, tulisan ini juga bermuatan gelitikan yang
bisa saja terjawab pada proses diskusi “Perluasan Integritas Artistik” oleh
pemateri. Akankah pada akhirnya pemikiran yang diramu sedemikian rupa akan
luluh perwujudannya dengan sistem yang mengatur perbuatan? atau masih kurangkah
integritas artitik yang tanpa disadari sudah terwujud lama, sebelum mengnal
nilai artistic yang semestinya?
Sebagai penutup
fulan ingin menyampaiakan sebuah kalimat yang ditemui ketika kata demi kata ini
dirangkai. Boleh dijawab, boleh dipahami, bahkan boleh tak dibaca sama sekali.
“Jika diam itu bagian dari music. Maka tak berbunyi bisa sebagai wujud sintas
dalam proses berkesenian.
Sumber bacaan:
Yudi
Latif.2020.Pendidikan yang Berkebudayaan.Kompas Gramedia. Jakarta.
Soehardjo.A.J.
2015.Pendidikan Seni.Bayu Media. Malang.