Sabtu, 26 Februari 2022

PERLUASAN INTEGRITAS ARTISTIK

 PERLUASAN INTEGRITAS ARTISTIK

Oalah, Karsa Koherensi Rasa”

 

Uswatul Hakim (2022) Diskusi Langgang Kuau

Sudut pandang berbeda menjadi barang lazim dan tak boleh dielakkan dalam memandang fakta yang belum tentu benar menjadi realita bagi setiap manusia yang memiliki elan dalam proses kreatifitasnya. Proses empiris individu dalam  setiap pola ide maupun isu terbentur, terbentur dan terbentuk menjadi kemampuan penataan ekspresi yang bertingkat serta beragam olah karsa dari rasa sehingga memiliki entitas yang bisa dinilai (tentunya relatif) , dinikmati panca indra dan bermakna bagi sesama.

Raja Ali Haji sudah lama menekankan tiga hal penting dalam kehidupan manusia, yakni ilmu,akal dan adab yang berdampingan dengan pebincangan saat ini hingga kata integritas menjadi marak dan verbal penyebutannya walau dalam proses perwujudan nilai estetis sudah menjadi tonggak dasar dalam proses berkreatifitas, mempertahankan kreatitas dan bertanggungjawab dengan hasil kreatifitas sudah barang tentu digaris bawahi “berkesenian”.

Seluruh kata disini disusun sedemikian rupa, saling menyambung hingga menjadi kalimat sederhana dapat dibaca serta dipahami, mungkin terbesit “ah, ini apa? hanya kalimat receh menggelitik untuk dikomentari atau untuk didiamkan”. Padahal sebuah usaha sudah dicoba ditata bentuk demi bentuk, garis demi garis yang kita semua sepakat ini merupakan huruf (vocal maupun konsonan) ketika digabung menjadi hal yang dapat dipahami maksud dan tujuannya. Proses ini didedikasikan dalam tanggung jawab moral akan cerminan saat ini atas segala pengalaman emipiris baik yang sudah tempa dilapangan maupun dalam pengalaman dalam menempuh pendidikan, egaliter dengan wujud estetis lain ekspresi yang saling berkelindan tertuang, dari mana kemampuan artisitik ini berasal.

Satu alenia fulan tulis diatas beriring dengan low fidelity bunyi menemani ketikan demi ketikan yang telah dibaca, refleksi integritas sederhana dari jalan ninja yang sudah ditempuh dalam proses “ber_kesenian”. Mungkin wujud hasil bunyi kadang tak dilihat kurang pemerhati, maka usaha penularan ide layak rasanya disampaikan kehalayak ramai untuk sintas dalam dunia yang telah, sedang dan akan ditempuh.

Pelebaran jalan dalam pembangunan seni bukan sebuah pilihan, akan lebih tepat menjadi keharusan untuk bukti konsistensi bahwa sebuah ide yang tertuang kedalam ranah artistik dapat dipertanggung jawabkan untuk terus ditularkan ke generasi berikutnya. Penataan bunyi latar belakang fulan tak bisa hanya dijawab dengan harmoni atau ketukan, melainkan tetap dengan susunan kata yang menjadi bukti akhir bahwa sudah melewati tahap nilai yang menjadi standar dalam proses kehidupan senian. Begitupun mungkin hal serupa, segerak, seframe, senaskah, sepanggung yang akan dan telah dilewati terkhusus pada proses berkesenian pada tataran Pendidikan formal. Keharusan memang sebuah pertanggung jawaban wujud seni ini tetap diarahkan kedalam susunan huruf agar bisa bernilai dan terdokumentasikan dengan baik.

Sebelum berbicara bagaimana integritas artistic secara khusus, mari kita coba lebih awal membedah dengan sederhana proses tersebut melalui sudut pandang penularan seni (A.J. Sohardjo:2015). Pertama “Aprentisip” dengan komponen dasarnya adalah “seniman/master,aprentis(murid), prosedur, yang dimana kemampuan artistic disini dipengaruhi besar oleh sang guru, tapi tak akan seirama integritas antara sang guru dengan murid walau sudah dengan prosedur yang tepat karna fakta dari sang guru kadang berbenturan hebat dengan realita dilapangan oleh sang murid. Potensi artistik disini dapat terjadi karna kekaguman pada sang guru berkat kepiawaiannya atau pengalam dalam proses berkesenian.

Pada sistim yang kedua “Pewarisan” atau sering disebut dengan sistim aprentisip khusus dikarna komponen penularan yang dari seniman kepada keturunan, sistim darah atau orang yang telah dipercaya. Berat memang bagi sipenerima warisan untuk melanjutkan besaran nilai yang sudah dibentuk pendahulunya, karana harapan besar dari sang guru/orang tua kepada penerus berbanding terbalik dengan keingnan, tujuan dan jalan ninja sianak di masanya. Bisa dikatakan bukanlah keterampilan yang diteruskan melaiankan, beban moril nama yang berimbas kepada kulitas artistic serta nilai seni berikutnya.

Dilanjutkan dengan “Sisitem Akademik” menjadi hal hebat dan cukup hangat diperbincangkan. Pada sistem ini yang menjadi dasar pijakan dalam prosesnya adalah pedoman yang berisi ketentuan yang mengikat telah diseakati oleh Lembaga pengelola atau disebut dengan “kurikulum”. Kemampuan artisitik didapati pada sistem ini bisa hasil dampak pembelajaran atau kadang dampak ikut-ikutan. Ketidakpuasan sering terjadi akibat luaran dari porses ini tak sepadan dengan nilai yang disepakati ditengan masyarakat yang seirama, lain hal kita juga sependapat bahwa keseniman tidak mungkin didapat lansung dari Lembaga Pendidikan, melainkan ditemukan lansung oleh calon seniman ditengah masyarakat karna tanpa disadari pada sistem ini kemampuan psikologis bidang senilah yang terbentuk kuat dan utuh seperti ekplorasi diri, percaya diri, tanggung jawab, jujur, dll. Pilihan lain capian luaran pada sistem ini adalah kemampuan prilaku kognisi (pemahaman), afeksi (kesadaran artistic) dan psokomoto (keterampilan artistic).

“Ilmu pengetahuan ada dua macam pengaruhnya, pertama yang mempunyai daya mempertajam dan mempercerdas pikiran, kedua pengethauan yang mempunyai daya memperdalam dan memperhalus budi”. Gagasan Ki Hadjar Dewantara ini dipertegas oleh (Yudi Latief:2020) bahwasanya erat sekalai hubungan antara ,logika, ethika dan aesthetika pada proses penularan seni sistim ini, dan alasan lain kenapa dalam beberapa jenjang pendidikan formal, materi pemahaman dan pengembangan nilai artistik yang diwakili oleh muatan pelajaran tertentu dihadirkan.

Keempat “Sistem Sanggar” mengacu kepada tempat dimana diskursus liar keartisikan sering muncul. Pengalaman masing-masing individu saling berbaur meramu sampai gelap malam, semakin banyak tegukan kopi maka semakin banyak pula pemahaman baru didapati yang berguna mendewasakan nilai estetis dimasing-masing bidangnya yang sadar atau tidak merubah pola kedepannya.

Terakhir ada “Sistim Otodidak” yang cendrung tercapai atas lahiriahnya. Kamandirian tanpa ada peran pengajar dalam memperolah ide, kemampuan nilai estetis  hingga pada titik tertentu medanpatkan pengakuan yang disepadani dengan sistem lainnya. Si punya bakat memang memiliki peluang besar dalam keahlian artistik, tapi bisa tertinggal dengan si punya kemuan dalam ranah integritas karna pengalaman sosialnya yang lebih luas.

Pencipataan karya seni dengan muatan nilai artistik dipengaruhi kuat oleh pengalaman artisktik si pencipta. penularan seni merupakan substansi dari pengalaman tersebut. Cara berpikir dan berperasaan titik awal dalam proses artistik yang tidak bisa dilepaskan untuk mencerminkan konsistensi antara kata, tindakan dengan prilaku dalam berkesenian.

Selain menjadi sebuah gambaran proses diskursus, tulisan ini juga bermuatan gelitikan yang bisa saja terjawab pada proses diskusi “Perluasan Integritas Artistik” oleh pemateri. Akankah pada akhirnya pemikiran yang diramu sedemikian rupa akan luluh perwujudannya dengan sistem yang mengatur perbuatan? atau masih kurangkah integritas artitik yang tanpa disadari sudah terwujud lama, sebelum mengnal nilai artistic yang semestinya?

Sebagai penutup fulan ingin menyampaiakan sebuah kalimat yang ditemui ketika kata demi kata ini dirangkai. Boleh dijawab, boleh dipahami, bahkan boleh tak dibaca sama sekali. “Jika diam itu bagian dari music. Maka tak berbunyi bisa sebagai wujud sintas dalam proses berkesenian.

 

Sumber bacaan:

Yudi Latif.2020.Pendidikan yang Berkebudayaan.Kompas Gramedia. Jakarta.

Soehardjo.A.J. 2015.Pendidikan Seni.Bayu Media. Malang.

 

PERLUASAN INTEGRITAS ARTISTIK

  PERLUASAN INTEGRITAS ARTISTIK “ Oalah, Karsa Koherensi Rasa”   Uswatul Hakim (2022) Diskusi Langgang Kuau Sudut pandang berbeda me...